Dirty Vote: Manuver Politik, Harapan, dan Realita
Film Dirty Vote yang diunggah di kanal Youtube telah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Film berdurasi 1jam 57menit ini mengupas strategi dan manuver politik yang diduga digunakan dalam Pemilu 2024.
Dandhy Dwi Laksono, sutradara Dirty Vote, bukan nama baru di dunia jurnalisme dan film dokumenter. Sebelumnya, Sexy Killers garapannya juga sempat menggemparkan publik dengan membahas isu sosial politik lewat sudut pandang berani dan tajam. Dengan kehadirannya, cukup memberikan kredibilitas terhadap penggarapan film Dirty Vote kali ini.
Sebagai orang awam dalam film dan dunia politik, saya ingin berbagi opini “amatir” terkait kesimpulan setelah menonton Dirty Vote.
Pertama, saya justru mendapat sebuah pandangan (mungkin sebuah unpopuler opinion), yang berharap semua kandidat capres memiliki kemampuan bermanuver setara atau lebih baik seperti yang dijelaskan dalam film. (terlepas dari baik/buruknya cara yang dilakukan)
Melihat film tersebut, ibarat kita disuguhkan breakdown rangkaian strategi politik tingkat tinggi, dijelaskan oleh tiga orang pakar: Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Mereka memaparkan bagaimana penguasa (dalam film ini Pak Jokowi) menggunakan berbagai manuver untuk memenangkan calon presiden pilihannya.
Bayangkan, jika ketiga kandidat memiliki kemampuan manuver politik dan mampu berstrategi tingkat tinggi. Jika nanti mereka terpilih menjadi presiden baru dan menggunakan kemampuan ini bukan untuk menjatuhkan lawan hanya demi kepentingan pribadi, tapi untuk menngusung kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kemampuan yang digunakan untuk meloloskan kebijakan pro rakyat, melawan intervensi pihak-pihak yang ingin menghambat kemajuan bangsa, dan mewujudkan agenda pembangunan yang berkelanjutan.
Kita tahu, selama ini sering terjadi ketegangan antara pemerintah dengan berbagai pihak terkait kebijakan. Ketidaksepakatan ini tak jarang menghambat kebijakan yang sebenarnya menguntungkan rakyat. Dengan kemampuan manuver politik yang handal, diharapkan pemimpin baru kita nanti mampu menjembatani perbedaan dan meloloskan kebijakan yang pro rakyat dengan strategi dan manuver tingkat tingginya.
Kedua, pertanyaan menarik muncul: apa alasan Pak Jokowi menggunakan manuver yang sistematis dan terstruktur ini? Apakah hanya ambisi membesarkan anaknya?, balasan sakit hati terhadap Ibu Mega?, atau demi keberlanjutan pembangunan IKN?, atau, mungkinkah ada agenda lain yang tersembunyi di balik layar? Film Dirty Vote memang tidak memberikan jawaban pasti terkait hal ini.
Sudut pandang analisa dalam film ini adalah seorang ahli dalam hukum tata negara, yang saya rasa (ini bersifat subjektif), sebagai akademisi mereka memandang politik lewat dunia yang ideal, sedang kita banyak tahu bahwa politik indonesia adalah kolam lumpur yang jauh dari ideal dan bukan tempat bertarung yang fair. Oleh karena itu, mungkin hanya cara manipulatif ini yang sang penguasa harus pilih demi mencapai agenda besar yang tersembunyi dibaliknya (yang semoga, adalah agenda bersifat pro rakyat, bukan hanya agenda remeh selevel “demi kepentingan pribadi”).
Namun, tetap film ini berhasil membuka mata kita jauh lebih lebar bahwa dunia politik penuh dengan strategi, manuver dan manipulasi. Sebagai rakyat, kita harus cerdas dan kritis dalam mencermati setiap langkah politik yang diambil oleh para pemimpin.
Terlepas dari motif di balik manuver politik, film Dirty Vote memberikan harapan dan realita. Harapan bahwa pemimpin masa depan memiliki standar kecakapan politik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Realita bahwa politik adalah dunia yang kompleks dengan berbagai kepentingan yang saling tarik menarik.
Sebagai penutup, film Dirty Vote adalah tontonan wajib bagi semua orang yang ingin memahami realitas politik di Indonesia. Film ini mengajak kita untuk menjadi pemilih yang cerdas dan kritis, serta mendorong para pemimpin untuk menggunakan kemampuan politiknya demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Note: frasa politik indonesia adalah kolam lumpur diambil dari ungkapan soe hok gie.
Disclaimer: Pandangan dan opini “amatir” ini semoga tidak menyudutkan pihak manapun, karena sebagai penulis, hanya sedang mencoba untuk menilai dengan membawa harapan positif dibaliknya.
Source reference: