Mengapa Memilih Membaca Buku Fiksi?
Karena membaca buku fiksi adalah jalan ninjaku.
Seperti kata Najwa Shihab, “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca, cari buku itu dan mari jatuh cinta”.
Buku yang telah membuat aku jatuh cinta itu adalah buku-buku fiksi.
Saat masa SMP dulu, di perpustakaan sekolah aku mengambil buku random, tidak ingat apa judul bukunya, tapi aku ingat itu adalah momen pertama aku menikmati membaca buku.
Kebiasaan itu mulai tumbuh, meski pelan tapi terus tumbuh bagai tanaman di tanah subur. Waktu luang menyempatkan diri untuk membaca buku-buku fiksi dari genre A sampai Z, puncaknya pada waktu kuliah, tinggal jauh dari rumah dan punya uang saku lebih banyak, selalu mengalokasikan membeli buku maksimal 2 buku per bulan, tentu buku fiksi. Kadang nekat beli lebih banyak buku dalam satu bulan, konsekuensinya berarti akan ada tambahan hari untuk puasa makananan enak di akhir bulan.
Waktu itu adalah momen terdekatku dengan buku-buku, sedang jatuh cinta sedalam-dalamnya. Kuliah di jogja adalah tempat mudah untuk jatuh cinta dengan buku, banyak tempat murah untuk cari buku disana.
Kadang, ada kalanya datang pandangan sebelah mata tentang kebiasaan membaca buku-buku fiksi ini, “Kuliah teknik malah baca sastra”, atau “Kaya bocah aja baca novel” dan kalimat serupa lainnya.
Apa jawabanku saat itu tidak penting, karena saat itu hal menyenangkan dan mudah yang bisa aku pilih, adalah buku, jadi aku terus melanjutkan membaca karya fiksi ini.
Baru akhir-akhir ini aku mulai kepikiran, seberapa besar pengaruh kebiasaan membaca literasi fiksi dalam membentuk kepribadian dan pola pikir.
Jika membaca buku keilmuan memberi nutrisi dan memperkaya otak, berarti buku-buku fiksi memberi pelajaran pada hati, memberikan rasa emosional, membentuk empati, dan merasakan menjadi manusia seutuhnya.
Bahkan, ada studi yang mendukung tentang isi pikiranku itu, disebutkan bahwa buku fiksi dapat meningkatkan performa ToM lebih baik dibanding yang tidak membaca buku fiksi. ToM atau Teori of Mind adalah kemampuan untuk memahami bahwa orang lain memiliki pikiran, keyakinan, dan perasaan yang berbeda daripada kita sendiri.
Dengan membaca buku fiksi memungkinkan kita untuk “memasuki” pikiran dan perasaan karakter lain. Hal ini membantu kita untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami dan memprediksi keadaan orang lain dngan lebih baik.
Becerita pengalaman personal, dulu waktu sibuk bekerja di sebuah tempat manufaktur, hidup bagaikan mesin. Terikat jam kerja, berangkat pagi pulang sore, teratur dan berulang, tak ada ruang untuk rasa dan pikiran. Tempat pelarian terbaik saat itu adalah buku-buku fiksi, membacanya benar-benar terasa seperti terselamatkan dan mengembalikan sisi manusiawi dengan emosi utuh, bukan menjadi “robot” tanpa emosi.
“Membaca sastra membuka segi kemanusian, belajar tentang cinta, benci, jujur, salah, berjuang, menyerah, takut, berani, ini pendidikan yang mengembangkan hati seseorang.”
Dikatakan oleh Romo Magnis di podcast endgame menit 1:30:33.
Aku mencoba menangkap makna dari kutipan kata beliau, singkatnya, sastra mendidik hati sesorang. Pendidikan formal seringkali fokus pada pengetahuan kognitif, sastra datang melengkapi pendidikan dengan mengembangkan aspek emosional dan moral manusia.
Bagian terakhir, pernahkah kamu memperhatikan bagiaman lancarnya orang bercerita yang gemar membaca buku-buku fiksi?
Kosakata mereka seperti tak terbatas, menggambarkan detail cerita dengan begitu hidup. Mungkin, dengan membaca buku, apapun jenisnya, akan memperkaya perbendaharaan kosa kata baru lebih baik.
Ditambah membaca buku menambah kemampuan dalam berimajinasi, membawa perasaan dan pikiran melampaui batas realita. Mungkin itulah alasannya, kebanyakan para penikmat fiksi terlatih untuk merangkai kisah dengan cara yang memikat, membuat setiap pendengarnya terhanyut dalam jalinan kata dan emosi.
Sebagai penutup, aku pilih kutipan menarik dari author favorit:
“Kalau kamu hanya membaca buku-buku yang dibaca semua orang, kamu hanya akan memikirkan apa yang dipikirkan semua orang”
Haruki Murakami, Norwegian Wood.
Membaca buku yang sama dengan orang lain hanya akan membatasi pemikiran kita pada sudut pandang yang umum.
Bacalah buku apapun itu jenisnya, jika tentang memperkaya intelektualitas yang ingin kamu pilih, maka bacalah buku-buku non fiksi. Jika pendidikan moral dan emosi sebagai manusia yang ingin kamu kembangkan, maka jawabannya adalah bacalah buku-buku fiksi.