Mengenal Buya Hamka lewat sastra

Eskalasi Rasa
3 min readFeb 26, 2024

--

Buya adalah nama panggilan untuk seorang bapak dalam keluarga religius di daerah Minang, sedang Hamka merupakan akronim dari nama asli beliau, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Seorang Pahlawan Nasional, Ulama besar, dan budayawan asal daerah dekat Danau Maninjau, Sumatera Barat.

Beliau lahir tahun 1908, dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981, tepat di hari Jumat pada bulan Ramadhan (konon artinya hari yang baik).

Semasa hidup, dalam penggambaran A. Fuadi dalam buku Buya Hamka (novel biografi), beliau banyak merasakan lika-liku hidup yang penuh dengan makna, pelajaran dan perjuangan.

Mengenal Buya Hamka lewat novel, karya A. Fuadi.

Tenggelamnya Kapal van der Wijck: Kritik Sosial yang Abadi

Jika banyak orang mengenalnya lewat ketokohan religius beliau, atau sebagai salah satu pahlawan nasional, atau sebagai pejabat Ketua pertama MUI (Majelis Ulama Indonesia), aku justru mengenal dan mulai mengagumi beliau lewat karya tulisannya, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” yang ditulis beliau tahun 1938, yang ternyata dalam novel yang saya baca, menjelaskan bahwa awalnya beliau menulis karya tersebut sebagai cerita bersambung untuk majalah kecil asal kota Medan.

Konon, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” merupakan sebagai karya terbaik Hamka, isinya yang merupakan kritik untuk beberapa tradisi masyrakat saat itu, salah satunya tradisi kawin paksa. Meskipun saat penulisan nsakah banyak yang menanti, tapi pada masa-masa gelap Indonesia, karya ini sempat menjadi alat serangan musuh untuk Buya Hamka, beliau dituduh menjiplak karya ini dari penulis Arab, salah satu “penuduh” ini adalah Pramoedya A.T. (saat itu, beliau saling bersebrangan ideologi partai). Tentu klaim ini tidak terbukti, dan Buya Hamka sendiri tidak ambil pusing persoalan ini.

Selain sudah dijadikan sebuah karya sastra novel, “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” juga sudah diangkat menjadi film layar lebar dengan judul sama pada tahun 2013.

Momen Keikhlasan yang Menginspirasi

Jika ada satu momen dalam cerita hidup beliau yang perlu kita pedomani, maka aku akan memilih saat beliau dengan ikhlas mau mengabulkan permintaan terakhir bung Karno. isi pesan bung Karno kepada keluarganya sebelum wafat (tahun 1970), menghendaki untuk Buya Hamka yang memimpin salat jenazahnya.

Tepat sebelum momen itu terjadi, Buya Hamka pernah masuk penjara tahun 1964–1966, praduga alasannya adalah karena beliau sering memberikan kritik pedas pada pemerintahan Soekarno yang mulai otoriter dan terlalu mendukung paham Komunisme. Buya Hamka sebagai tokoh islam, dan juga sahabat bung Karno merasa perlu untuk mengingatkan tindakannya itu.

Meskipun pernah dipenjara oleh bung Karno, Buya Hamka secara mengejutkan dan dengan ikhlas mengabulkan permintaan tersebut. Beliau memahami bahwa permintaan ini merupakan amanah dan bentuk penghormatan terakhir kepada bung Karno.

Momen ini menunjukkan bahwa Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki kasih sayang, pemaaf, ikhlas, dan berjiwa besar. Sikapnya ini sangat layak untuk kita teladani dalam kehidupan dan bernegara.

Sebagai kalimat penutup, kita perlu terus mengingat jasa beliau yang telah memberikan banyak kontribusi bagi bangsa Indonesia, baik dalam bidang agama, pendidikan, maupun kebudayaan. Tentu, Dedikasi dan pemikirannya terus menginspirasi banyak orang hingga saat ini

Terimakasih atas segalanya, doakan semoga generasi kami dapat meneruskan perjuanganmu Buya!

--

--

Eskalasi Rasa
Eskalasi Rasa

Written by Eskalasi Rasa

Memulai menulis, mengenang dan mengabadikan perjalanan waktu lewat kata dan rasa.

No responses yet