Presiden “17 bulan” Indonesia: B.J. Habibie

Eskalasi Rasa
5 min readFeb 20, 2024

--

Bacharuddin Jusuf Habibie, atau dikenal sebagai B.J. Habibie, merupakan presiden ketiga Republik Indonesia yang memimpin di masa penuh gejolak pasca lengsernya Soeharto. Masa kepemimpinannya yang singkat, dari Mei 1998 hingga Oktober 1999 (1 tahun, 4 bulan, dan 30 hari), diwarnai dengan berbagai peristiwa penting dan kontroversial, mulai dari krisis moneter 1998, reformasi politik, hingga lepasnya Timor Timur.

Photo by Fasyah Halim on Unsplash

Penulis sebagai rakyat yang tidak secara langsung mengalami masa kepemimpinan oleh beliau, tertarik mengenang beliau sebagai Presiden RI lewat permasalahan dan kebijakan menarik yang beliau tuntaskan:

  1. Referendum Timor timur

Sejarah Timor Leste sebelum gabung dengan Indonesia, pada 30 November 1975, Timor Leste merdeka dari jajahan Portugis. Namun hanya selang dua hari, tiga partai politik pesaing Fretilin, yaitu Partai KOTA, UDT, dan APODETI yang prointegrasi Indonesia mendeklarasikan integrasi ke Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Deklarasi Balibo.

Deklarasi ini menjadi sebuah legitimasi Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto yang saat itu menentang keras gerakan komunisme untuk menginvasi Timor Leste di bawah rezim Fretilin yang berhaluan kiri. Operasi ini disebut sebagai Operasi Seroja.

Pada tahun 1976, Timor Leste masuk ke Indonesia sebagai provinsi baru bernama Timor Timur lewat operasi militer dengan metode kekerasan yang mendapat kecaman keras dari dunia internasional.

Fretilin dan kelompok pro-kemerdekaan Timor timur lainnya melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Indonesia, Militer Indonesia pun diduga banyak melakukan pelanggaran HAM berat selama periode tersebut (perkiraan 102.000 korban jiwa selama 1974–1999). Masalah ini tiba pada puncak yang menekan pemerintah Indonesia saat itu tahun 1998, presiden B.J. Habibie untuk segera menyelesaikan konflik Timor timur.

Krisis ekonomi dan politik 1998 di Indonesia memicu gelombang demonstrasi dan tuntutan reformasi, salah satu tuntutan utama adalah penyelesaian masalah Timor Timur secara damai dan demokratis. Ditambah intervensi PBB dan tekanan diplomatik negara lain, menuntut pak B.J. Habibie untuk menyelesaikan masalah itu dengan segera.

Ada beberapa opsi saat itu, seperti menekan perlawanan di timor timur lewat meningkatkan operasi militernya, namun opsi ini jelas banyak pertentangan dunia luar dan meningkatkan pelanggran HAM lebih berat. Dengan pemikiran rasional dan kebijakan berani, beliau menawarkan Referendum pada rakyat Timor timur untuk memilih sendiri ingin tetap menjadi bagian NKRI dengan Otonomi daerah khusus yang lebih luas, atau merdeka dan lepas dari Indonesia.

Beliau diyakini memilih jalan ini karena keyakinan terhadap Demokrasi yang percaya rakyat berhak menentukan nasib mereka sendiri, dan dapat memulihkan citra Indonesia dimata internasinal akibat masa lalau yang penuh dengan pelanggaran HAM.

Meskipun menuai kritik dari banyak pihak internal, seperti pihak militer dan beberapa partai politik saat itu, keputusan B.J. Habibie untuk mengadakan referendum merupakan langkah berani dengan rasional yang berhasil membawa solusi damai bagi masalah Timor Timur namanya akan terus terukir di Timor Leste sebagai pahlawan penyelamat.

“Mengapa kita harus menghadapi demikian banyak masalah Internasional ketika kita dihadapkan pada banyak masalah di rumah kita sendiri?
Mengapa kita harus mengalami semua penderitaan ini?
Mengapa kita membutuhkan Timor Leste, dan mengapa kita tidak melepaskan mereka saja?”

B.J. Habibie, Pandangannya mengenai Timor Leste.

Source reference:
1. Sejarah Tim-tim: https://www.detik.com/bali/berita/d-6647723/sejarah-dan-fakta-timor-leste-yang-pernah-jadi-bagian-indonesia
2. Korban jiwa Tim-tim: http://www.cavr-timorleste.org/updateFiles/english/CONFLICT-RELATED%20DEATHS.pdf
3. Statement pak Habibie: Madjiah, Lela E. (2002). Timor-Timur Perginya si Anak Hilang. Jakarta: Antara Pustaka Utama

2. Krisis moneter 1998

Latar belakang masalah saat itu, krisis menurunkan nilai tukar rupiah pada Juni 1997 dari Rp 2.380 menjadi Rp 17.000 per dolar AS secara berkelanjutan pada awal 1998. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih. Krisis ini diwarnai dengan rush atau pengambilan uang besar-besaran dari bank.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirnya ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dolar/kapita pada 1996 dan 1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610 dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi yang sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.

Sebagai presiden selanjutnya, BJ Habibie mengambil langkah berani untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya meminta bantuan IMF dengan program reformasi ekonomi yang terstruktur dan diawasi. Saat itu bantuan IMF dianggap sebagai solusi yang lebih realistis dan pragmatis dalam situasi krisis yang mendesak. Tetapi tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini karena menganggappPenerimaan bantuan IMF dianggap sebagai bentuk intervensi asing dan menghambat kedaulatan ekonomi Indonesia. Salah satu dampaknya adalah Kebijakan ini membebani rakyat yang sudah terlilit kesulitan ekonomi akibat krisis, karena Program IMF mewajibkan Indonesia untuk menerapkan kebijakan fiskal yang ketat, seperti pengurangan subsidi dan kenaikan harga BBM.

Situasi krisis 1998 sangat kompleks dan tidak ada solusi yang mudah, dari segala kebijakan yang dilakukan presiden Habibie saat itu, meski banyak kritik dan tingkat kepercayaan publik yang rendah, nyatanya beliau dapat memperbaiki stabilisasi nilai tukar rupiah dari Rp 17.000 menjadi Rp 7.385 per dolar AS pada Oktober 1999, dan penurunan inflasi menjadi 2% pada tahun 1999.

Keterbatasan waktu mungkin adalah salah satu faktor tidak selesainya masalah krisis moneter ini secara menyeluruh. Masa kepemimpinan presiden Habibie terbilang singkat, sehingga krisis ekonomi dan dampak sosialnya masih terasa hingga beberapa tahun setelah presiden Habibie lengser.

Source refernce:
1. Terkait latar belakang krisis: https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-moneter-1997-1998

Kepemimpinan B.J. Habibie diwarnai dengan berbagai kontroversial dan kebijakan yang tidak populer. Gaya kepemimpinan beliau dianggap otoriter dan kurang demokratis. Tetapi, mungkin jalan dan pilihan beliau saat itu adalah pendekatan paling visioner yang bisa dilakukan saat itu.

Meski hasil jajak pendapat saat itu menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden Habibie. Tapi sekarang, kita rakyat Indoneisa mengenang beliau sebagai presiden yang cerdik, teknokrat yang mungkin memang tidak terlalu pandai berpolitik, dan seorang negarawan.

Beliau akan selalu dikenang sebagai Pahlawan nasional, dengan tambahan pribadi yang setia, dan kecintaan pada Ibu Ainun pun banyak mengajarkan kita tentang contoh cinta sejati.

Presiden Indonesia B.J. Habibie dengan Ibu Ainun pada acara pembukaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat 1 Oktober 1999 di Jakarta. (Sumber: tirto.id)

--

--

Eskalasi Rasa
Eskalasi Rasa

Written by Eskalasi Rasa

Memulai menulis, mengenang dan mengabadikan perjalanan waktu lewat kata dan rasa.

No responses yet